Cergamis & Kartunis Legendaris Indonesia
Sepanjang Masa

Pah Hasmi (Haryo Surominoto) sang maestro komik pencipta tokoh Gundala putera petir, Maza si penakluk, Sembrani, Merpati, Pangeran Mlaar dan Kalong...

Hasmi

Harya Suraminata yang lebih dikenal dengan nama Hasmi (lahir di Yogyakarta, 25 Desember 1946. Meninggal di Yogyakarta pada tanggal 6 November 2016 pada usia 69 tahun) adalah salah satu komikus dan penulis skenario terkenal di Indonesia. Buah karyanya yang sangat populer adalah Gundala Putera Petir, seorang tokoh superhero pembasmi kejahatan dalam jagad komik Indonesia. Sebanyak 23 judul buku seri Gundala terbit antara tahun 1969 hingga 1982. Tokoh Gundala ia ciptakan setelah Maza yang telah lebih dulu muncul pada tahun 1968. Petualangan Gundala berakhir pada tahun 1982 dengan buku terakhir berjudul "Surat dari Akherat". Sempat muncul kembali sebagai komik strip di Jawa Pos pada tahun 1988, namun tidak bertahan lama.

Pak Hasmi terbiasa menggambar sejak masih duduk di bangku SMP BOPKRI 1 Yogyakarta. Setelah lulus SMA, Pak Hasmi awalnya bercita - cita menjadi insinyur, namun ia gagal melewati tes masuk teknik UGM. Pada tahun 1967 Ia mendaftar di Akademi Seni Rupa Indonesia, namun masa kuliahnya di ASRI hanya bertahan dua tahun dan berakhir pada 1968. Ia memutuskan untuk keluar karena waktunya habis tersita untuk serial Gundala yang sangat digemari kala itu. Pada tahun 1971 Pak Hasmi kuliah lagi di Akademi Bahasa Asing pada jurusan bahasa Inggris dan lulus pada tahun 1974. Pernah menjadi salah satu murid kesayangan dari perguruan BIMA (Budaya Indonesia Mataram), tetapi memutuskan untuk tidak aktif karena kesibukannya menggambar.

Setelah Gundala Putera Petir tidak terbit, Hasmi banting setir menjadi penulis skenario, bahkan bintang tamu di sinetron. Sejumlah skenario film yang pernah ditulisnya antara lain Kelabang Sewu (disutradarai oleh Imam Tantowi), Lorong Sesat, Harta Karun Rawa Jagitan dan beberapa film lainnya. Selain itu ia aktif menulis skenario untuk acara ketoprak di TVRI Yogyakarta. Pak Hasmi juga adalah penulis paling produktif di teater STEMKA untuk acara TVRI Yogyakarta.

Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya Pak Hasmi berpesan agar insan komikus Indonesia selalu menjaga kerukunan, saling bersinergi dan bekerjasama dalam membangun industri komik tanah air. 

Pak Wid NS, sang pencipta tokoh Godam si manusia baja, Aquanus penguasa samudra dan Kapten Dahana...

Mas Fajar Sungging Pramodito, putera dan pewaris tokoh / karakter komik ciptaan Pak Wid NS (almarhum).

Wid N.S.

Widodo Noor Slamet yang populer dengan nama Wid N.S. (lahir di Yogyakarta, 22 November 1938 - meninggal di Yogyakarta, 26 Desember 2003 pada umur 65 tahun) adalah pencipta tokoh komik Godam si manusia baja. Komik Godam diciptakan oleh Wid N.S. dalam kurun waktu tahun 1969 hingga 1980 sebanyak 15 judul. Komik Godam terakhir yang seharusnya menjadi komik ke-16 yang berjudul "Ujian Buat Awang" belum terselesaikan karena kesehatannya yang terganggu sampai beliau meninggal dunia pada tahun 2003.

Selain mencipta tokoh superhero Godam, Wid N.S. juga menciptakan tokoh komik Aquanus pada tahun 1968. Karakter komik lain yang diciptakannya adalah Kapten Dahana. Wid N.S. adalah Seniman otodidak yang 'cuma' lulusan SMP Negeri II Yogyakarta pada tahun 1956 itu tidak menamatkan pendidikan lanjutannya di SMA PPK Yogyakarta. Pak Wid pertama kali bekerja formal pada Jawatan Penerangan Bengkulu. Pernah pula bekerja di majalah Hai dan Bobo pada tahun 1981. Selanjutnya ia bekerja di TVRI Yogyakarta sebagai penulis skenario sandiwara. Nasib dan bakatnya membawanya ke dunia komik mulai tahun 1968. Komiknya yang pertama dibayar Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).

Pak Wid N.S. dan Pak Hasmi yang sudah saling mengenal sejak 1963 mempunyai selera yang sama pada fiksi ilmiah dan superhero. Mereka sering saling meminjamkan karakter komik dan cerita komik yang mereka ciptakan. Rumahnya di Yogyakarta berfungsi sebagai studio yang mereka namakan Studio Savicap. Savicap adalah kepanjangan Sagitarius, Virgo dan Capricornus. Tiga buah rasi bintang yang dimiliki oleh Pak Wid N.S., Pak Hasmi dan seorang temannya.

Wid N.S. menguasai banyak cabang kesenian seperti seni patung, relief, murel, seni lukis, teater, musik, lawak dan beberapa kesenian tradisional. Wid N.S. selau berusaha manampilkan sosok yang lebih natural dalam karya - karyanya. Godam yang beraksi di Indonesia digambarkan sebagai orang Asia. Kendaraan dan bangunan sangat jelas konstruksinya. Kemampuan dalam bertutur bisa menampilkan humor maupun suspense.

Wid N.S. selain meciptakan komik superhero seperti Godam, juga menciptakan komik silat maupun horor seperti "Anjing Setan de La Rosa" dan "Pengantin Rumah Kubur". Karya - karyanya juga banyak dimuat di majalah - majalah anak Ananda seperti "Azis". Penerbit komik Misurind menerbitkan komik sejarah "Ken Arok", selain itu pernah bersama - sama komikus Indonesia yang lain seperti Pak Hasmi, Djoni Andrean, Hasyim Katamsi dan Marsoedi membuat komik tentang Serangan Umum 1 Maret 1949 berjudul "Merebut Kota Perjuangan" pada tahun 1983.

Beliau meninggal dunia saat pembukaan “Pameran Ilustrasi Komik” karyanya di Balai Roepa Tembi, Yogyakarta yang diselenggarakan dari 26 Desember 2003 sampai 17 Januari 2004. Di galeri yang terletak di desa Timbul Harjo, kecamatan Sewon, Bantul, Godam hadir bersama beberapa tokoh lain dalam Pameran Ilustrasi Komik karya Wid N.S. Di antaranya Azis, anak cerdas yang kerap muncul di majalah Ananda pada 1980-an, Nyi Ageng Serang, Bocah Antlantis, hingga Ken Arok. Total karya yang dipamerkan 30 ilustrasi dan 25 jilid komik terbitan tahun 1968 - 1995.

Wid N.S. meninggal di rumahnya yang sederhana di perumahan Bale Asri, Wates, sekitar 10 kilometer arah barat Yogyakarta. Ia meninggalkan Suradinah, istrinya, empat anak (Hayuning Dewi Darjati, Fajar Sungging Pramodito, Prasidani Lintang Satiti, dan Anggoro Purnomosidi) serta tiga cucu. "Saat meninggal, Bapak baru saja menyelesaikan lukisan potret dirinya," kata Sungging. Bahkan, tangan Pak Wid N.S. pun masih berlumuran cat. Putra Wid N.S., Fajar Sungging Pramodito pada tahun 2006 menciptakan komik Godam Reborn yang merupakan usaha menghidupkan kembali tokoh Godam.

Usyah

Pak Usyah atau Usyahbudin adalah salah seorang komikus / cergamis Indonesia legendaris yang terkenal dengan karyanya serial Pendekar Bambu Kuning yang populer di era tahun 1970-an.

Bio data :

Nama : Usyahbudin / Usyah
Alamat rumah : -
Kode pos : -
Kota : Jakarta
Telpon : -
Handphone : -
Home page : -
Gallery : -
Email : -
Facebook : https://www.facebook.com/usyah.budin.5 
Catatan : -

Cancer

Pak Cancer adalah salah seorang komikus / cergamis Indonesia legendaris pencipta tokoh superhero Kawa Hijau yang cukup populer di era tahun 1970 s/d 1980-an.

Bio data :

Nama : Cancer
Alamat rumah : -
Kode pos : -
Kota : Jakarta
Telpon : -
Handphone : -
Home page : -
Gallery : -
Email : -
Facebook : -
Catatan : -

Kus Bram

Kus Bram adalah komikus pencipta tokoh Labah - labah Merah, Labah - labah Mirah, Macan Kumbang dan Dewi Bulan yang populer di era tahun 1970 s/d 1980-an.

Bio data :

Nama : Kus Bramiana
Alamat rumah : Jl. Dahlia No.2, RT.03 / RW.15 - Kelurahan Leuwigajah / Kecamatan Cimahi Selatan
Kode pos : -
Kota : Cimahi
Telpon : -
Handphone : -
Home page : -
Gallery : -
Email : -
Facebook : https://www.facebook.com/profile.php?id=100008991227611 
Catatan : -

Pak Ganes TH, sang pencipta tokoh pendekar si Buta dari Goa Hantu yang fenomenal!

Mas Gienardy Octavianto,
putera Pak Ganes T.H. 

 

Ganes T.H.

Ganes Thiar Santoso (lahir di Tangerang, Jawa Barat, 10 Juli 1935 - meninggal tahun 1995 pada umur 60 tahun), atau lebih dikenal dengan nama pena singkatnya Ganes T.H. adalah seorang komikus Indonesia terkenal. Ia merupakan salah satu tonggak kejayaan komik Indonesia. Pada masanya Ganes T.H. merupakan salah satu dari "tiga dewa komik Indonesia" bersama dengan Jan Mintaraga dan Teguh Santosa. Kisah dalam komik - komiknya begitu memikat hati pembaca komik Indonesia di era tahun 1970-an sampai 1980-an. Dua di antaranya yang kami anggap paling baik adalah komik berjudul Taufan yang mengisahkan perjuangan hidup seorang pemuda Indonesia pada masa penjajahan Jepang hingga beberapa tahun setelah Indonesia merdeka dan Petualang  yang . Ceritanya begitu menyentuh dan dramatis, bagaikan kisah nyata!

Ganes T.H. menciptakan tokoh "Si Buta Dari Gua Hantu" yang menjadi merk dagangnya dan merupakan tokoh komik lokal yang paling populer sepanjang masa. Komik Si Buta Dari Gua Hantu adalah komik silat Indonesia yang pertama. Terbitan perdananya langsung "meledak" sehingga komik Indonesia saat itu menjadi dilanda "demam silat" sehingga banyak komikus lain yang mengekor di belakang kesuksesan Si Buta. Dikabarkan bahwa komik seri perdana Si Buta ini dicetak hingga ratusan ribu eksemplar.

Serial Si Buta dari Goa Hantu karya ciptaannya tidak akan pernah dilupakan banyak pembaca dari berbagai pulau di Indonesia. Hal ini disebabkan karena petualangan Si Buta dimulai dari Jawa Barat hingga menyeberang ke banyak pulau seperti Bali, Flores, Kalimantan, Sulawesi Selatan hingga Sulawesi Tengah yang menunjukkan pengetahuan Pak Ganes T.H. yang luas dan kecintaan pada tanah airnya yang begitu dalam.

Ganes T.H. dengan "Si Buta Dari Goa Hantu" bersama dengan komikus legendaris lainnya seperti Jan Mintaraga dan Teguh Santosa merupakan salah satu ikon puncak sejak Kho Wan Gie, R.A. Kosasih, Zam Nuldyn, dan Taguan Hardjo. Sejarah komik Indonesia mencatat nama Ganes T.H. sebagai salah satu legenda komikus Indonesia yang akan selalu dikenang sepanjang masa!

Dwi Koendoro

Tokoh kelahiran Banjar 13 Mei 1941 ini, terlahir sebagai sosok multi-talenta. Masa kecilnya dihabiskan di Bandung. Beliau jatuh hati pada dunia perfilman pada usia 6 tahun. Setiap ke pasar malam, yang ditongkronginya adalah film. Film - film kartun Walt Disney menjadi favoritnya. Bakat menggambarnya yang kuat, menjadi modal yang tidak sia - sia. Pada usia 14 tahun, hasil coretannya berupa kartun - kartun sudah menghiasi majalah Teratai yang terbit di Jakarta.

Selepas SMP di Surabaya, Dwi Koen menjatuhkan pilihan pada Sekolah Seni Rupa Indonesia di Yogyakarta, lalu berlanjut ke ilustrasi grafis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Selama di ASRI ia sempat menjadi wartawan di harian Kedaulatan Rakyat. Kecintaannya pada animasi kartun, membuat ia belajar otodidak dengan berbagai cara. Membaca buku dan bereksperimen menjadi gurunya.

Tahun 1971, Dwi Koen pindah ke Jakarta. Kartun - kartunnya mengisi majalah Stop. Bertahan hingga 1972, akhirnya ia pindah ke biro iklan Intervista, dari karyawan biasa sampai menjadi art director. Lalu empat tahun kemudian, ia pindah ke Gramedia. Karirnya terhitung baik hingga dipercaya menjadi Kepala Bagian Produksi Gramedia Film.

Akhirnya lahirlah Panji Koming pada 14 Oktober 1979 sebagai "pelepasan" kreatif dan segala uneg - unegnya dari sifat pekerjaannya di Gramedia Film yang lebih banyak menangani pekerjaan non kreatif. Tahun 1982 ia mengundurkan diri karena merasa kurang cocok di posisi tersebut. Tiga tahun kemudian, tepatnya 1985, Dwi Koen mendirikan PT Citra Audivistama - perusahaan yang bergerak dibidang film animasi, iklan, dokumentar dan slide program.

Pengalaman dan kreatifitasnya berbuah penghargaan Piala Citra sebagai sutradara terbaik untuk film dokumentar "Sepercik Kenangan, Segelombang Teladan" pada FFI 1981. Kini, 30 tahun sudah Panji Koming hadir setiap Minggu. Tokoh ini telah menjadi ikon karakter yang kritis tapi jenaka. Bisa menjadi insiprasi serta bahan perenungan dalam menyikapi kondisi bangsa Indonesia. Hingga saat ini beliau hampir tidak mengenal istilah weekend, karena setiap Sabtu "kelakar kritis" Panji Koming harus dikirim ke Kompas agar bisa terbit pada hari Minggu.

Bio data :

Nama : Dwi Koendoro
Alamat rumah : -
Kode pos : -
Kota : Jakarta
Telpon : (021) 7411384
Handphone : -
Home page : -
Gallery : -
Email : kisabdopailul@yahoo.com 
Facebook : https://www.facebook.com/dwi.koendoro 
Catatan : -

R.A. Kosasih

Raden Ahmad Kosasih (lahir di Bogor, Jawa Barat, 4 April 1919 - meninggal 24 Juli 2012) adalah seorang penulis dan penggambar komik termasyhur dari Indonesia. Generasi komik masa kini menganggapnya sebagai Bapak Komik Indonesia.

Karya - karyanya terutama berhubungan dengan kesusastraan Hindu (Ramayana dan Mahabharata) dan sastra tradisional Indonesia, terutama dari sastra Jawa dan Sunda. Selain itu beliau juga menggambar beberapa komik silat yang memiliki pengaruh Tionghoa, namun tidak terlalu banyak.

Kosasih mulai menggambar pada tahun 1953 lalu ia mulai berhenti dan pensiun pada tahun 1993. Kosasih terutama menggambar sketsa - sketsa hitam putih tanpa memakai warna.
Kosasih memulai kariernya pada penerbit Melodi di Bandung. Namun karya - karyanya yang terkenal diterbitkan oleh Maranatha. Akhir - akhir ini pada dasawarsa tahun 1990-an karya-karyanya diterbitkan ulang oleh Elex Media Komputindo dan penerbit Paramitha di Surabaya. Kosasih meninggal dunia dalam usia 93 tahun.

Kho Wang Gie

Komikus keturunan Cina bernama asli Kho Wang Gie, lahir di Indramayu, pada tahun 1908. Setelah menjadi murid pelukis Belanda Jan Franck dan van Velthuijzen (seperti Siauw Tik Kwie), ia mulai menggambar komik pada tahun 1930, di surat kabar Sin Po di Jakarta. Pada tahun 1931 ia mencipta tokoh humor Put On yang petualangannya muncul setiap minggu dalam bentuk komik strip. Setelah majalah Cina - Melayu itu mati, Put On yang sangat populer itu diterbitkan oleh surat kabar komunis, Warta Bhakti.

Setelah meninggalkan Put On yang terlalu berwarna politis, Kho Wang Gie kembali menggambar sekitar tahun 1967, dengan menggunakan nama samaran Sopoiku (siapa itu) atau Soponyono (siapa sangka). Ia mencipta bermacam - macam tokoh, yang diilhami oleh Put On dan petualangan mereka diterbitkan dalam bentuk buku berseri (Nona Agogo, Djali Tokcher, Lemot dan Obud, Agen Rahasia 013 (Bolong Jilu), Dalip & Dolop dan sebagainya). Komik - komik yang dibuatnya juga tampil di majalah Ria Film (dengan tokoh si Pengky), Varia Nada dan Ria Remaja. Pak Kho Wang Gie meninggal dunia pada bulan Mei tahun 1983.

Djair Warni

Dia adalah satu dari "The Big Seven". Djair Warni, komikus itu, menjadi salah satu dari tujuh besar karena karyanya Jaka Sembung, Djaka Gledek, Si Tolol, Kiamat Kandang Haur, Malaikat Bayangan, dan Toan Anak Jin. Seperti rekan - rekannya sesama "The Big Five", Djair tergolong komikus otodidak. Ia sudah membuat komik sejak masih remaja. Padahal, dulu ayahnya menaruh harapan supaya Djair bercita - cita sebagai insinyur. "Waktu itu saya sering dimarahi Ayah karena lebih senang membuat komik daripada belajar. Akhirnya saya mencuri - curi kesempatan," tutur Djair. Ia menggemari karya - karya Ganes T.H. (Si Buta dari Goa Hantu), Jan Mintaraga (Rio Purbaya), dan Hans Jaladara (Panji Tengkorak) ini.

Mungkin karena itulah komik - komik Djair juga memiliki pengaruh dari komikus yang dikaguminya; ia cenderung mengisahkan pengembaraan seorang pendekar dalam menegakkan kebenaran. Kisah pengembaraan para pendekar yang dianggap pahlawan itu lengkap dibumbui cerita kehidupan sehari - harinya, sehingga terasa membumi. Lihat saja Jaka Sembung. Berbeda dengan tokoh hero seperti Si Buta dari Goa Hantu atau Panji Tengkorak yang selalu berkawan dengan sunyi, Jaka Sembung justru digambarkan sebagai tokoh yang sudah berkeluarga. Atribut yang digunakan Jaka juga tidak seperti Si Buta, yang berpakaian kulit ular, melainkan baju biasa berlilit sarung. Begitu populernya hingga kisah Jaka Sembung itu sempat diangkat ke layar lebar dengan bintang Barry Prima.

Pada masa jayanya, penghasilan yang diperolehnya cukup untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. Maklum, untuk satu cerita terdiri dari 7 sampai 10 jilid ia memperoleh Rp 100 ribu,  angka yang tinggi untuk ukuran tahun 1960-an. Sayang, zaman keemasannya sulit terulang kembali. Ia bahkan pesimistis, komik Indonesia bakal bisa bangkit kembali. Soalnya, "Sekarang sudah ada televisi, bioskop, mall dan video game. Anak - anak sudah terbiasa dicekoki komik - komik import terjemahan dari luar negeri," kata Djair. Ia kini banting setir menekuni profesi di dunia sinetron dan film sebagai penulis skenario. Salah satu karyanya adalah skenario film Fatahillah yang dibiayai Pemerintah DKI Jakarta (1997).

Pak Djair meninggal dunia pada tanggal 27 September 2016 karena sakit komplikasi diabetes yang sudah cukup lama dideritanya.

Rio Purbaya

Pak Rio Purbaya alias Handy dahulunya dikenal sebagai komikus yang cukup banyak membuat komik / serial silat. Salah satu yang cukup populer dan dikenang para penggemarnya adalah serial Pedang Kayu Cendana yg terbit sekitar tahun 1970-an.

Saat ini (2014) bersama - sama dengan Pak Man (Mansyur Daman), Pak Rio Purbaya aktif sebagai colorist komik - komik klasik legendaris seperti serial Mandala, Si Buta dari Goa Hantu, Gundala, Godam, dsbnya yang dimuat di harian Kompas (Intermezzo Klasika).

Bio data :

Nama : Rio J. Purbaya
Alamat rumah : -
Kode pos : -
Kota : Jakarta
Telpon : -
Handphone : -
Home page : -
Gallery : -
Email : -
Facebook : https://www.facebook.com/riopurbaya 
Catatan : Saat ini aktif sebagai colorist / komikus pengisi halaman Intermezzo Klasika di harian Kompas.

Hans Jaladara.jpg

Hans Jaladara

Hans Rianto Sukandi (lahir di Kebumen, Jawa Tengah, 4 April 1947) atau yang lebih dikenal dengan nama pena Hans Jaladara atau hanya Hans adalah seorang komikus yang terkenal di Indonesia. Dia dikenal sebagai pencipta serial Panji Tengkorak, Walet Merah, Pandu Wilantara, dll, komik - komik cerita silat Indonesia yang populer.

Karier komik
Nama Jaladara baru dipakai Hans pada awal tahun 1970-an karena ada peniru dengan nama Han, tanpa huruf S. Jaladara diambil dari tokoh komik wayang karya Ardi Soma, yaitu Wiku Paksi Jaladara.

Hans yang pada awalnya membuat komik jenis drama, kemudian diminta sebuah penerbit untuk membuat komik serupa Si Buta dari Goa Hantu karya Ganes TH. yang waktu itu tengah menjadi idola di kalangan penggemar komik. Hans kemudian menciptakan tokoh Pandji Tengkorak pada tahun 1968 dan komik ini sangat sukses di pasaran. Komik Pandji Tengkorak pada tahun 1971 diadaptasi menjadi sebuah film aksi laga layar lebar berjudul sama yang dibintangi oleh Deddy Sutomo, Shan Kuan Ling Fung, Rita Zahara, Lenny Marlina dan Maruli Sitompul.

Kebiasaan membaca (termasuk komik) merangsang Hans untuk berimajinasi dan merangkai cerita. Gerakan silat dalam komik merupakan aktualisasi dari ilmu yang diperolehnya saat belajar kungfu di perguruan Cheng Bu di kawasan Mangga Besar dan judo pada Tjoa Kek Tiong.

Sekitar tahun 1975 sampai 1980-an, komik Indonesia mengalami kemerosotan seiring dengan membanjirnya komik - komik impor. Hans masih bertahan dan sempat menerbitkan Pandu Wilantara dan Durjana Pemetik Bunga. Semangatnya mulai bangkit kembali ketika ada tawaran untuk memproduksi kembali Panji Tengkorak versi 2 pada tahun 1984 dan kemudian versi 3 tahun 1996.

Pada tahun 1990 Hans menggeluti dunia seni lukis dan beberapa kali mengikuti pameran. Ia mengaku terlambat membuat lukisan, setidaknya jika diukur dari masa kejayaan lukisan. Melukis dan mengajar hingga kini masih ia tekuni agar hobi menggambarnya tetap tersalurkan. Dunia komik memang telah menjadi bagian dari hidupnya bahkan kedua putrinya berhasil Ia sekolahkan hingga perguruan tinggi dari penghasilan membuat komik. Ia masih menaruh harapan besar, suatu hari kelak komik lokal kembali berjaya di negerinya sendiri!
 

Bio data :

Nama : Hans Rianto Sukandi (Hans Jaladara)
Alamat rumah : -
Kode pos : -
Kota : Jakarta
Telpon : -
Handphone : -
Home page : -
Gallery : -
Email : -
Facebook : https://www.facebook.com/panji.tengkorak.56863221 
Catatan : Beliau pencipta tokoh komik silat legendaris Panji Tengkorak, Walet Merah dan Intan Permata Rimba. Saat ini masih aktif melukis dan membuat komik.

Mansyur Daman

Mansyur Daman atau MAN dilahirkan di Jakarta pada tanggal 3 Juli 1946. Serial Mandala Siluman Sungai Ular adalah komik yang menjadi karya master piecenya yang paling terkenal di jagad komik tanah air. Dengan wajah ganteng, berjiwa luhur, badan yang tegap, ikat kepala serta memiliki ilmu yang tinggi (sakti) merupakan persyaratan lengkap untuk seorang jagoan. Konon Pak Man terinspirasi oleh wajah Robert Conrad, bintang film Amerika yang memerankan film seri televisi the Wild Wild West untuk wajah tokoh Mandala.

Setelah komik Indonesia mencoba untuk bangkit kembali, Pak Man mulai kembali aktif membuat komik. Hingga saat ini (2012) sudah ada beberapa komik karya beliau yang diterbitkan dan menjadi buruan para pecinta komik tanah air. Kami lihat beliau termasuk salah satu komikus legendaris Indonesia yang masih tetap terus aktif membuat komik hingga saat ini! Salut buat Pak Man dan semoga Tuhan mengkaruniainya dengan umur panjang dan kesehatan! ^_^

Bio data :

Nama : Mansyur Daman
Alamat rumah : -
Kode pos : -
Kota : Jakarta
Telpon : -
Handphone : -
Home page : -
Gallery : -
Email : -
Facebook : https://www.facebook.com/man.ilustrator 
Catatan : Masih terus aktif membuat ilustrasi gambar dan komik, bahkan saat ini tercatat sebagai salah satu komikus majalah horror Amerika, The Creeps.

Mater

Pak Mater (Rahmat Sutalaksana) almarhum adalah komikus pencipta tokoh fenomenal Nusantara.

John Loo

Komikus dari Bandung, segenerasi dengan R.A. Kosasih, tampil komikus etnis Tionghoa ini. Boleh dibilang John Loo alias Djoni Lukman yang pertama memperkenalkan pahlawan super asli Indonesia, yakni Garuda Putih dan Puteri Bintang.

Tak jarang pula dua tokohnya bekerja sama dengan superheroine-nya R.A. Kosasih, Sri Asih. Oom John pernah pula membuat komik wayang Raden Palasara serta komik silat China Pendekar Piatu.

Pak Jan Mintaraga

Ibu Patsy Mintaraga, putri pak Jan Mintaraga

Jan Mintaraga

Jan Mintaraga (Suwalbiyanto) adalah seorang komikus Indonesia. Ia sempat mengecap pendidikan di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta dan di Institut Teknologi Bandung (ITB). Ia mulai menggambar komik sejak tahun 1965. Banyak karya yang sudah diterbitkan, antara lain Sebuah Noda Hitam, Tunggu Aku di Pintu Eden. Cerita - cerita silat : Kelelawar, Teror Macan Putih, Indra Bayu, Ramayana, dll. Jan juga pernah membuat komik dgn genre fantasi / superhero. Tokoh - tokoh komik superhero ciptaannya adalah Kapten Halilintar dan Virgo yang pernah muncul dalam beberapa episode, tampil dengan tokoh - tokoh superhero lainnya seperti Gundala, Godam, dll.

Ia juga menulis komik sejarah seperti Imperium Majapahit, Api di Rimba Mentaok. Selain sebagai seorang kartunis, Jan Mintaraga juga dikenal sebagai seorang ilustrator. Komikus yang bernama asli Suwalbiyanto ini lahir di Jogjakarta pada tanggal 8 November 1942. Sebelum memutuskan terjun sebagai komikus ia pernah menuntut ilmu gambar menggambar di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta dan di Institut Teknologi Bandung (ITB).

Jan Mintaraga memulai aktifitas dalam dunia komik - mengomik dalam tema Roman. Pergeseran genre dari Roman ke Silat akhirnya menyeret sang maestro mengikuti arus itu, dengan tetap menampilkan roman dalam komik - komik silatnya. Ternyata apa yang dilakukan Jan mendapat sambutan luar biasa dari penggemar komik Indonesia. Ditambah lagi dengan petualangan ke dunia antah berantah (siluman, jin, setan dan lain - lain) semakin menjadikan Jan sebagai komikus paling fenomenal di jamannya. Banyak kritikus yang menyayangkan gambar cewek dalam komiknya yang kebarat - baratan serta terlalu sensual, tidak digubris sama sekali oleh Jan. Karena di tema itulah yang membuat komik karya Jan Mintaraga diburu oleh penggemar fanatiknya hingga saat ini.

Jan sempat membuat komik Ramayana yang diterbitkan Misurind namun terhenti di buku ke-9. Akan tetapi gebrakan di akhir karyanya adalah terbitnya komik dengan judul Api di Rimba Mentaok terbitan Grasindo dan Imperium Majapahit terbitan Elex yang merupakan karya detik - detik terakhir Jan.

Sayang sekali beliau tidak lama bersama kita. Jan Mintaraga meninggalkan kita pada usia yang relatif masih muda, beliau meninggal di Pamulang pada tanggal 14 Desember 1999 pada usia 57 tahun.

Nono G.M.

Pencinta komik era tahun 70-an, tentu kenal nama Nono GM. Ia komikus asal Yogyakarta yang banyak berdiskusi dengan seniornya, Hasmi dan Wid NS. Nono juga asyik dengan genre superheronya. Tak mengherankan, warna cerita Nono juga banyak dipengaruhi dua seniornya ini. Ia membuat karakter tokoh Tira, Tora, dan Boda. Namun, Tira yang membuat namanya dikenal. Judul karyanya antara lain Tira dalam Pasungan, Raksasa Super, Misteri Singgasana Monk, Perang, Cahaya Kehancuran dan 9 Pintu Naga.

Beberapa waktu lalu Hasmi bercerita, di masa kejayaan komik lokal, Nono kerap mendatangi Hasmi untuk saling tukar - menukar pikiran. Hubungan yang akrab membuat Nono leluasa menghadirkan tokoh - tokoh karya Hasmi seperti Gundala, Maza, Pangeran Mlaar atau tokoh karya Pak Wid N.S. seperti Godam dan Aquanus. Kehadiran bintang tamu yang jadi lokomotif genre superhero waktu itu, cukup mengangkat nama Tira. Akan tetapi, Nono lebih bangga tatkala Tira dan Tora muncul dalam karya Hasmi atau Wid N.S.

Dari sisi cerita dan gambar, Nono masih di bawah seniornya. Namun, ada satu kehebatan Nono yang diakui Hasmi sebagai suatu kemampuan yang luar biasa. Ceritanya, ketika komik Indonesia masih berjaya, Nono kena stroke. Tangan kanannya tidak bisa bergerak, sementara tangan kirinya masih bisa beraktivitas.

Dalam kondisi sakit, semangat Nono untuk bikin komik masih tetap tinggi. Caranya, Nono yang tidak kidal ini melatih kekuatan tangan kirinya. Sampai akhirnya, ia bisa menggambar dengan tangan kiri, meski tidak sebagus ketika ia menggambar dengan tangan kanan. Nah, dengan tangan kiri, Nono melanjutkan kreativitasnya bikin komik dan berhasil diterbitkan. "Tapi, saya tidak ingat betul judul komik yang dibuatnya dengan tangan kiri," kata Hasmi yang saat itu sempat menyambangi rumah Nono.

Sayang, Nono pada akhirnya tak kuasa melawan sakitnya. Ia meninggal di tahun 1999 dalam usia relatif muda. Semangat Nono seolah mengabarkan pesan, kreativitas yang tak pernah kunjung padam sampai ia tiada.

Pak Teguh Santosa

Mas Dhanny Valiandra,
putera Pak Teguh Santosa

Teguh Santosa

Sebuah masa ketika ketoprak tobong berjaya di ranah kesenian di Tanah Air. Di Malang, Jawa Timur, berdiri kelompok ketoprak Krido Sworo yang dimiliki pasangan suami istri Soemarmo Adji dan Lasiyem. Ketoprak yang mulai muncul pada masa penjajahan ini berpentas dari satu kota ke kota lain di seantero Jawa Timur. Seperti layaknya seniman bohemian, Krido Sworo mengembara ke berbagai kota, berpentas untuk menghibur masyarakat.

Sang pemilik, Soemarmo Adji, juga berperan sebagai pelukis panggung ketoprak, sedangkan Lasiyem adalah artis yang andal. Soemarmo juga menggarap tata artistik panggung. Dari buah cinta Soemarmo dan Lasiyem, pada tanggal 1 Februari 1942, lahir bayi tampan yang kelak mewarnai peta jagat komik nasional. Bayi lelaki yang lahir di Desa Gondang Legi, Malang itu bernama Teguh Santosa.

Teguh menapakkan kakinya ke Yogyakarta selepas SMA. Ia bergabung dengan Sanggar Bambu. Bakat melukis Teguh pun semakin terasah. Di sinilah ia berguru pada Kentardjo, Soenarto PR, dan sastrawan kenamaan Kirdjomulyo. Kentardjo dikenal sebagai ilustrator cerita silat Jawa karya SH Mintardja. Pertemanan Teguh dengan para seniman ini terjalin sangat akrab.

Di Yogyakarta pula Teguh berkenalan dengan dramawan sekaligus penyair kenamaan Si Burung Merak WS Rendra. Bahkan, Teguh pernah menggarap artistik dalam sebuah pementasan Rendra. Selain itu, aktivitas lain Teguh adalah membuat poster dan baliho - baliho.

Waktu berlalu, suatu masa keresahan melanda hati Teguh. "Apa hidupku mesti nyeniman terus?" begitu pertanyaan yang muncul di benak Teguh. Sempat terbersit keinginan menekuni jalur lukis dengan menjadi seorang pelukis profesional. Namun, ia merasa sudah banyak yang menekuni jalur ini. Akhirnya, ia mantap menekuni dunia ilustrasi. Ia sempat bikin ilustrasi beberapa buku. Karya ilustrasinya berupa cergam terwujud ketika ia mengomikkan naskah karya Basuki Rahmat berjudul Ki Danurekso dan Pusaka Sunan Giri.

Proses berikutnya, Teguh mantap menapak karier menjadi cergamis. Salah satu cergam di awal kariernya berjudul Lewat Jam 12 Malam. Berbagai komik bertema perjuangan menjadi fokus perhatian Teguh. Berbagai judul ia garap seperti Sebuah Tebusan Dosa, Mutiara, Tambusa. Karya cergamnya yang kemudian banyak dikenang penggemarnya adalah trilogi Sandhora. Selanjutnya, Teguh menitikberatkan lakon cergamnya dalam jagat siluman yang memunculkan cergam mistik, baik mistik realis maupun surealis.

Sebagai cergamis papan atas, Teguh termasuk deretan cergamis laris. Pernah dalam satu kurun waktu, ia menggarap beberapa judul cergam permintaan beberapa penerbit sekaligus. Antara lain Pancar Kumala, Sastra Kumala, Maranatha. Begitu larisnya, dari hasil ngomik, semua kebutuhan keluarga tercukupi. Rumah orang tua yang semula reot berdinding anyaman bambu, sanggup ia bangun menjadi rumah berdinding tembok yang bagus.

Posisi Teguh sebagai cergamis sangat kuat di mata penerbit. Permintaannya sering dipenuhi penerbit. "Tolong, saya dibelikan kulkas," ujar Teguh. Kukas pun dikirim ke rumah Teguh. Dari hasil cergamnya, Teguh mampu menghidupi keluarganya. Semua anaknya ia antarkan ke bangku kuliah. Kehidupan keluarganya benar - benar berkecukupan.

Sebagai komikus, Teguh masuk jajaran papan atas komikus Indonesia dengan produktivitas di atas rata - rata. Begitu banyak karyanya yang menjadi acuan komikus lebih muda. Ia termasuk komikus laris. Selain rajin membuat komik dalam format buku, karyanya juga tertera di berbagai majalah semisal Majalah Hai, Ananda, dan majalah berbahasa Jawa, Jayabaya.

Periode tahun 80-an industri komik nasional mulai surut. Namun, dunia cergam sudah mendarah daging dalam jiwa Teguh. Teguh tetap berusaha menawarkan karya - karyanya ke penerbit dan surat kabar. Beberapa di antaranya lolos. Karya Teguh di periode ini masih terihat di beberapa surat kabar, antara lain Surabaya Pos, Suara Karya, dan majalah berbahasa Jawa Jayabaya.

Teguh terus berkarya hingga kanker menyerang tangannya. Akhir perjalanan hidup Teguh ibarat sebuah lakon tragedi. Ia berkarya dengan tangannya, namun tangan yang jadi tumpuan hidupnya, kena penyakit kanker ganas. Dalam catatan Galang Press, sebelum mengembuskan napas terakhir pada 25 Oktober 2000, Teguh masih berusaha menyelesaikan karya cergam di sebuah harian yang tinggal beberapa episode lagi. Kini, Teguh, sang maestro dari Timur, berbaring tenang di dekat pusara sang ibunda di lereng pegunungan Tengger, Desa Nongkojajar, Jawa Timur. 

Zam Nuldyn

Zam Nuldyn bernama asli Zainal Abidin Muhammad. Ia lahir di Labuhan Deli pada tanggal 31 Desember 1922. Ayahnya bernama Muhammad yang dulunya bekerja di Duane (pelabuhan Belawan).

Zam Nuldyn adalah komikus Medan yang pertama kalinya mempopulerkan genre cergam kepada khalayak ramai melalui koran yang terbit di Medan. Walaupun sejarah komik mencatat bahwa Nasroen A.S (tahun 30-an) sudah populer dengan gambar komiknya di surat kabar Sinar Hindia, namun gaya pencitraan komik Medan yang pertama kali memakai cerita rakyat sebagai tema adalah Zam Nuldyn. 

Komik yang dihasilkan Zam Nuldyn bukan sekadar bertualang kata - kata antar tokohnya tetapi komiknya tersebut berhasil membuka mata kita tentang pentingnya petualangan lama untuk ditorehkan kembali pada masa kini. Semasa ia kecil jari - jarinya terbiasa menulis dan melukis tentang keindahan khayali. Karena hal ini ia lakukan terus menerus maka ia mempunyai warna tersendiri tanpa merasa menjadi korban keindahan rupa yang kosong. Zam Nuldyn tidak mempunyai seorang guru secara spesifik dalam mengajarkan ia melukis.

Bahwa karena ketekunannya sendiri melatih diri ditambah dengan bakat alam yang dimilikinya ia berhasil menuangkan berbagai macam imajinasinya ke atas kertas. Tahun 1939 ia mulai memasuki HIS Ivoorno Medan (Instituut Voor Neutral Onderwijs, SD berbahasa Belanda). Zam Nuldyn terakhir bekerja di kantor Deppen Sumatera Utara dan tinggal di jalan Seksama. Tahun 1955 ia masuk kuliah di Fakultas Hukum UISU (Universitas Islam Sumatera Utara). Kebiasaanya melukis tetap dijalaninya. Karyanya bisa dijumpai di Harian Waspada, Suluh Massa, Mimbar Umum, Sinar Revolusi dan Dobrak.

Judul - judul komik yang dihasilkan Zam Nuldyn adalah : Merak Jingga, Sri Putih Cermin, Dewi Krakatau, Ratu Karimata, Dayang Suara, Sibalga, Paluh Hantu, Alang Bubu, Si Terjun, Detektif Bahtar, Panglima Denai, Gunung Toba, Gandawirama, Dora, Pangliam Taring, Buaya Gigi Mas, Mas Merah, Jam 5 Sore, Bogam, Putri Pucuk Klumpang, Cindur Mato, Sambalero, Srindit Terbang Malam, Datuk Seruwai dsb. Hampir semuanya tema komik tersebut menggunakan cerita Melayu kuno. Di dalam membaca semua komik Zam Nuldyn akan kita temukan suatu pesan moral yang kuat. Secara tersirat pesan itu melahirkan ajaran agar sebagai manusia kita jangan berbuat jahat.

Gerdi W.K.

Komikus dengan nama lengkap Gerdi Wirata Kusuma ini dilahirkan di Ciamis pada tanggal 13 April 1953. Sebagai komikus Gerdi W.K. telah membidani 3 (tiga) tokoh superhero yang menjadi masterpiece di tahun 70-an, yaitu Gina, Santini dan Boda. Gina yang berasal dari Kerajaan Turaba di Timur Tengah menjadi idola penggila komik karena disamping wajahnya yang cantik juga sakti dan bertubuh seksi. Sedangkan Santini merupakan jelmaan dari Santi sekaligus jagoan khas Indonesia.

Adapun mengenai tokoh Boda juga mirip dengan Gina yang berasal dari Timur Tengah hanya saja ia laki - laki yang gagah perkasa. Keunggulan Gerdi W.K. adalah kemampuannya dalam menggambar postur tubuh wanita yang sangat detil, indah dan sensual.

Sosok Pak Gerdi W.K. adalah pria yang rendah hati, karena hingga saat ini ia merasa bukan sebagai seorang komikus, melainkan keterlibatannya dalam komik Indonesia hanyalah sebagai penggembira saja. Pertama kali terjun ke dunia komik - mengomik juga lantaran di'paksa' oleh salah seorang kawannya, yang mengatakan dengan sungguh - sungguh bahwa karyanya bisa dijual. Sayangnya Pak Gerdi lupa judul karya - karya awalnya itu. Prinsip hidup pak Gerdi W.K. adalah bekerja untuk menjadi orang yang mendapatkan gaji secara rutin, sehingga wajar apabila kemudian memutuskan konsentrasi sebagai illustrator di berbagai majalah anak - anak dan penerbit berbagai jenis buku.

Bio data :

Nama : Gerdi Wiratakusuma
Alamat rumah : -
Kode pos : -
Kota : Depok
Telpon : -
Handphone : -
Home page : -
Gallery : -
Email : -
Facebook : https://www.facebook.com/gerdi.wiratakusuma 
Catatan : Masih aktif membuat ilustrasi gambar dan komik di berbagai penerbitan buku dan majalah.

Zaldy Armendaris

Nama lengkapnya Zaldy Armendaris. Coretannya sangat disukai muda - mudi di zamannya karena gambar cowoknya ganteng - ganteng dan ceweknya cantik - cantik. Kebetulan abang kandungnya, Hadi Purwanta, adalah seorang penerbit.

Komiknya, Setitik Air Mata Buat Peter difilmkan Rapi Film (produksi perdananya) dengan judul Air Mata Kekasih (1971) yang dibintangi pasangan Suzana dan Budi Schwarzkrone. Sampai akhir hayatnya Zaldy tetap membujang, tak pernah menikah.

Pak Nurmi Ambardi

Pak Banuarli Ambardi

Banu & Nurmi Ambardi

Tak banyak kakak beradik yang sama-sama jadi cergamis seperti Banu dan Nurmi. Mereka termasuk generasi komikus tahun 70-an yang ikut memperkaya perjalanan komik nasional. Mereka pun sama-sama menekuni genre superhero. Berikut ringkasan proses kreatif mereka.

Kakak beradik, Banuarli Ambardi dan Nurmiadi Ambardi , masing - masing anak pertama dan kedua dari 8 bersaudara, lahir dari keluarga yang suka melukis. Ayah mereka, Ambardi, dikenal jago menggambar tokoh wayang. Sejak kecil, mereka sudah sering menyaksikan ayahnya melukis di rumah mereka di Jalan Ngeksigondo, Kotagede, Yogyakarta.

Di masa itu dua paman mereka, Jan Mintaraga dan Harya Suryaminata alias Hasmi, sudah kondang sebagai cergamis papan atas Indonesia. Banu dan Nurmi sering mendengar cerita dua Oom-nya itu tentang dunia cergam. Bahkan goresan - goresan gambar Pak Jan (Mintaraga) dan Hasmi terekam kuat dalam benak mereka. Secara tidak langsung, Banu dan Nurmi menyerap ilmu dari kedua pamannya itu. "Saya sering menyaksikan komik - komik Oom Jan dan Oom Hasmi. Secara tidak langsung, saya belajar dari mereka. Saya terus berproses sampai akhirnya sanggup membuat komik sendiri!" ujar Banu.

Ya, Banu dan Nurmi di masa mudanya memang tergerak untuk menjadi cergamis. Mereka sama - sama memilih spesialis genre superhero. Banu dan Nurmi sama - sama menggubah dua superhero yang di masanya cukup dikenal (Nurmi menciptakan tokoh superhero Bantala dan Elang Biru, sedangkan Banu menciptakan Herbintang dan Untara).

S. Ardisoma

Di dunia cergam, ia lebih dikenal dengan nama Ardisoma walaupun itu adalah nama ayahnya. Nama sebenarnya adalah Saleh yang kemudian dalam karya-karya cergamnya dituliskan menjadi Saleh Ardisoma, S. Ardisoma, S.A. Soma, atau S.A.S. Nama ini ditorehkannya pada panel-panel komik yang kemudian menjadi milestone dalam sejarah cergam di tahun 1950 s/d 1960-an, mendampingi karya cergam wayang fenomenal dari R.A. Kosasih yaitu Ramayana dan Mahabharata. Ada tiga judul cergam Saleh Ardisoma yang menonjol, yaitu Djakawana, Ulamsari, dan Wayang Purwa. Penerbitan cergam - cergamnya hampir semua di bawah Melodi. Penerbit Melodi ini dikenal sering melakukan inovasi tema dalam penerbitan cergam di tahun 1950-an. Melodi mempelopori penerbitan cergam dalam bentuk buku, sekaligus mempelopori penciptaan tokoh - tokoh superhero lokal seperti Sri Asih, Putri Bintang dan lain - lain. Melodi juga yang mempelopori penerbitan cergam dengan tema "lokal" seperti cerita rakyat dan wayang. Beda jauh dengan penerbit - penerbit masa kini yang full berorientasi dagang dan keuntungan semata!

Dari cergam - cergam yang dihasilkan S. Ardisoma, pada genre "wayang" inilah, Saleh Ardisoma mendapat posisi yang cukup tepat dan diterima masyarakat. Di antara semua karyanya, bisa dikatakan bahwa Wayang Purwa merupakan puncaknya. Wayang Purwa karya S. Ardisoma yang terbit pada tahun 1956 menjadi salah satu tonggak sejarah cergam khususnya dalam genre wayang.

Cergam Wayang Purwa karya Saleh Ardisoma ini rupanya juga cukup menarik perhatian penerbit Perancis, Trismégiste. Pada tahun 1982, salah satu episode dari Wayang Purwa yaitu Manikmaya, sempat diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Perancis. Pada tahun 2002, Wayang Purwa dicetak ulang secara lengkap dalam format yang lebih kecil oleh PT Elex Media Komputindo. Tahun 2010, karya terbaik Saleh Ardisoma ini diterbitkan kembali dalam ukuran yang besar. Tampaknya penerbit Pluz+ sangat memahami nilai penting dari Wayang Purwa karya Saleh Ardisoma ini sehingga diabadikan dalam format yang mewah dan sangat layak untuk menjadi koleksi.

Siauw Tiek Kwie

OTTO SWASTIKA (Siauw Tik Kwie) dilahirkan pada tanggal 21 Juni 1913 di kota Surakarta. Pendidikan yang diperolehnya adalah dari Sekolah Tiong Hoa Hwe Kuan, yaitu sekolah bagi golongan Timur Asing - Cina pada masa penjajahan Belanda. Di sekolah inilah ia mendapatkan pelajaran seni rupa dari guru - guru yang hebat dan ia pun sangat berbakat.

Selain bakat melukis yang kian terasah, ia juga belajar filsafat dari Khong Hu Cu (Confussianisme). Ditambah lagi dengan hobbynya membaca buku - buku legenda Cina seperti Hong Sin, Sam Kok, Sie Jien Koei, Si Kiong, Gak Hui dan lain sebagainya. Ia belajar memvisualisasikan tokoh - tokoh dalam legenda itu hanya untuk iseng kemudian diberikan kepada teman - temannya.

Pindah dari Surakarta ke Jakarta membawanya berkawan dengan Kho Wang Gie (komikus Put On), Lee Man Fong dan lain - lain. Sehingga menambah luas cakrawala dunia gambar - menggambarnya. Ia melukis komik untuk surat kabar Sing Po, Majalah Liberty Malang, Starmagazine Jakarta, mingguan Star Weekly dan masih banyak lagi.

Atas saran dari Auwyang Peng Koen (PK Ojong) yang termasuk pendiri harian Kompas, Sieuw Tik Kwie diminta untuk melukis Sie Djin Koei. Dan ia pun menyanggupinya. Kelar dalam waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 7 tahun.

Sebagai pelukis, Siauw Tik Kwie pernah empat kali mengadakan pameran tunggal di Balai Budaya, Jakarta. Pamerannya yang terakhir diadakan pada 1980 dan diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu, Dr. Daoed Joesoef dan disponsori oleh Jusuf Wanandi SH (Liem Bian Kie, SH).

Siauw Tik Kwie adalah komikus besar dengan coretan berdasarkan wayang potehi. Dwilogi karyanya yang monumental, Sie Djin Koei Tjeng Tang (Sie Jin Kui Menyerbu ke Timur) dan Sie Djin Koei Tjeng See (Sie Jin Kui Menyerbu ke Barat), semula dimuat seminggu sekali di majalah Star Weekly.

Oom Siauw memang bekerja sebagai illustrator cerpen, cersil, dan cerdek, di majalah tersebut. Selain itu juga melukis sampul buku - buku cersil yang diterjemahkan oleh OKT seperti Kim Tjoa Kiam, Tjie Hong Piauw, Giok Lo Sat dan Pek Hoat Mo Lie. Ciri khas lukisannya, tokoh pendekar prianya gagah keren, pendekar wanitanya cantik galak.

Ada rencana melanjutkan dengan serial Hong Kiauw - Lie Tan (Kisah Sie Kong, cucu Sie Jin Kui), malangnya majalah Star Weekly (entah karena apa) mendadak dibredel! Belakangan Oom Siauw memakai nama Otto Swastika dan menjadi pelukis kanvas sampai meninggal dunia.

Sim

Sim yang bernama asli Lazarus Simon Iskandar alias Sim Kim Tan termasuk komikus produktif di era awal 1960-an hingga akhir 1970-an. Ia mulai membuat komik pada tahun 1964 dan pernah membuat komik seperti Keping - Keping Impian, Angin Kemarau, Tugas dan Cinta, serta Buku Harian Monita. Menurut Marcel Bonneff dalam buku Komik Indonesia, Sim menghasilkan sekitar 80 judul komik. Salah seorang putranya mengatakan, Sim belakangan sedang membuat komik atas permintaan rekannya.

Sim yang lahir di Bogor 18 Desember 1943 seangkatan dengan Yan Mintaraga, Ganes TH, Zaldy, dan Hans Jaladara. Menurut pemerhati komik Seno Gumira Ajidarma, Sim, Yan, dan Zaldy merupakan eksponen penting komikus genre roman. Yan menggunakan acuan Amerika, Zaldy lebih bergaya Melayu - Hongkong dalam hal sentimentalitas dan melankoliknya. "Sim berada di tengah - tengah Yan dan Zaldy. Dari segi cerita, Sim mirip - mirip Zaldy, tetapi dari teknik gambar, Sim lebih mirip Yan," kata Seno.

Kwik Ing Hoo

Komiknya yang melegenda, Wiro Anak Rimba Indonesia, merupakan versi Tarzan asli Indonesia. Terdiri dari 10 jilid, merentang petualangan panjang seorang pemuda praremaja yang menjelajah ke hutan rimba dari Jawa ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, sampai Irian. Bersama kera, gorila, harimau dan gajahnya. Mengikuti ekspedisi flora dan fauna Dr. Watson dengan kapalnya. Ketika dalam klimaks bentrok dengan sisa pasukan Dai Nippon di pedalaman Papua, satu - persatu keempat binatangnya mati terbunuh, rasanya anak - anak penggemarnya se-Indonesia menangis semua. Sungguh sebuah komik yang takkan terlupakan bagi siapa pun yang pernah membacanya.

Kemudian dengan inisial KIH, beliau melukis sampul - sampul dan illustrasi dalam novel dan cersil terbitan Analisa, Jakarta. Beliau sendiri bermukim di Solo, Jawa Tengah. Dalam usia tua beralih melukis kanvas, seperti Lee Man Fong, gemar melukis sekawanan ikan koki.

Lie Ay Poen

Kalau Oom Siauw Tiek Kwie melukis untuk Star Weekly maka di majalah Pantja Warna ada Oom Lie dengan komik serial silatnya, Poei Sie Giok Pukul Loeitay. Cerita silat terkenal itu kelak berulang kali difilmkan dengan bintang - bintang terkemuka. Antara lain yang pernah memeraninya adalah Meng Fei, Alexander Fu Shen, sampai ke Jet Li, sebagai Fang Si Yu atau bacanya Fang Se Ie (lafal Kuo Yu untuk Pui Sie Giok dalam dialek Hokkian). 

Lanjutannya, Runtuhnya Kuil Siauw Liem Sie, terpaksa dihentikan di tengah jalan karena Pantja Warna pun distop penerbitannya oleh pemerintah waktu itu!

Kong Ong

Tak banyak yang diketahui mengenai komikus asal Sumatera Utara ini. Komiknya, keluaran penerbit Casso, Medan, berjudul Kapten Komet (1955). Cerita bersetting masa depan (pada waktu dibuat) ketika astronot Indonesia dengan roketnya telah mampu menjelajah ke planet Saturnus. Jelas diilhami dari komik Barat terkenal, Flash Gordon.

Goei Kwat Siong

Nama kartunis itu Goei Kwat Siong, dulu guru sekolah Tionghoa di Pekalongan. Terkena stroke di sekitar tahun 1967 dan meninggal di tahun 1975 dalam usia 56 tahun. Dari kedua anaknya, satu laki dan satu prempuan, tidak ada yang meneruskan bakat melukis mereka, kecuali di waktu muda mereka sempat menulis di koran dan majalah. Cucu - cucunya ada beberapa yang mewarisi bakat itu dan salah seorang cucunya yang senang membuat anime sekarang bekerja sebagai ilustrator di CNN di Atlanta.

Komik strip "Si Apiao" yang dimuat seminggu sekali di halaman khusus anak - anak persis di tengah - tengah majalah Star Weekly. Setelah terkumpul cukup banyak, setahun sekali komik strip itu kemudian diterbitkan menjadi buku oleh Penerbit Keng Po.

Sosok bocah cerdas - cerdik berkepala gundul plontos itu sangat digemari anak - anak. Setia menghiasi mingguan Star Weekly sampai dihentikan penerbitannya oleh pemerintah pada medio 1960-an.

Tatang S.

Tatang S. bernama lengkap Tatang Suhendra. Pada tahun 1970-an, kabarnya ia pernah menjadi komikus yang bayarannya paling tinggi di Bandung. Ketika itu ia dikenal sebagai komikus cerita - cerita silat. Karena ambisinya dalam mencipta komik sangat besar, tidak jarang ia sering 'berbenturan' dengan rekan - rekannya sesama komikus. Kasus yang menonjol adalah ketika ia terlibat 'perang komik' dengan Ganes TH. Ganes merupakan seorang komikus yang kesohor dengan karyanya, 'Si Buta Dari Goa Hantu'. Pada suatu ketika, Ganes pindah dari sebuah penerbitan. Penerbit tersebut tak terima dan sakit hati dengan kepindahan Ganes. Tak lama kemudian Tatang direkrut oleh penerbit itu untuk menyaingi komik sohor karya Ganes. Tatang lalu membuat komik 'Si Gagu dari Goa Hantu' untuk menyaingi 'Si Buta dari Gua Hantu'-nya Ganes. Lalu apa yang terjadi? Ternyata komik karya Tatang ini cuma beredar sebanyak tiga edisi sampai akhirnya dibredel. 'Si Gagu dari Goa Hantu'-nya Tatang membuat dunia perkomikan Indonesia gempar. Secara tidak langsung, Tatang telah menjadi korban pemainan penerbit, sehingga karir Tatang sebagai seorang komikus silat hancur.

Karir Tatang kembali bersinar setelah ia membuat komik dengan tokoh Punakawan (Gareng, Petruk, Semar, Bagong). Pada 27 April 2003, Tatang S. meninggal dunia. Menurut sejumlah rumor yang beredar, ia meninggal karena penyakit kencing manis. Penyakit ini diderita lantaran Tatang yang sering bekerja pada malam hari ketagihan meminum minuman bersoda. Meski kehidupannya diliputi misteri, Tatang telah mendedikasikan seluruh hidupnya untuk dunia komik Indonesia.

G.M. Sudharta

 

Bernama lahir Gerardus Mayela Sudarta, namun setelah berganti keyakinan ia merubah namanya menjadi Gafur Muhamad Sudarta. lahir di Klaten, Jawa Tengah, 20 September 1945. Lahir dan besar di lingkungan keluarga yang memegang teguh adat Jawa, ia dikenal sebagai kartunis dengan karikatur tepo seliro (tenggang rasa). Gambar - gambar karikaturnya walau men'cubit' namun tetap mengundang senyum. Menurutnya, sebuah karikatur dinilai berhasil bila dapat mengkritik tanpa menyinggung suatu pihak.

Usai menamatkan SMA di Klaten, tahun 1965, ia meneruskan pendidikan ke ASRI Yogyakarta. Semasa kuliah, seniman yang kini giat melukis lagi sempat menjadi kartunis di majalah Merah Putih, Jakarta 1966. Di tahun yang sama, bekerja sama dengan Pramono mendesain diorama Monumen Nasional. Ia juga ikut andil dalam desain pembangunan Monumen Pahlawan Revolusi Lubang Buaya. Sebagai karikaturis GM Sudarta peka menangkap berbagai fenomena sosial, ekonomi, politik dan budaya di tanah air. Sejak awal menapaki karir sebagai pengisi kolom karikatur kompas di tahun 1967 hingga kini, GM Sudarta telah melahirkan ratusan karya. Identik dengan Oom Pasikom yang kerap menyapa para pembaca harian Kompas. Lewat Oom Pasikom, GM Sudarta mengemas isu - isu aktual yang terjadi di tanah air maupun manca negara. Ia secara memikat mampu melontarkan celetukan - celetukan cerdas bahkan sering kali mengejutkan. Baginya, peristiwa demi peristiwa merupakan sumber inspirasi yang tak pernah surut.

Daya kreatifitasnya semakin terpacu tatkala masa pemerintahan Orde Baru berakhir. Reformasi memberikan banyak ide segar. Rasa marah, sedih, dan kesal ia tuangkan ke atas kertas. Peraih penghargaan Adinegoro 1983 dan 1984 ini lebih banyak menghabiskan waktu di kediamaan yang asri di Klaten dan ia membangun Graha Budaya Sekartaji sebagai konstibusi konkrit bagi masyarakat Klaten.

Nama : Gafur Muhamad Sudarta
TTL : Klaten, Jawa Tengah, 20 September 1945

Pendidikan :
SMA (Klaten), ASRI Yogyakarta (1965-1967)

Kegiatan lain :
Ketua Seksi karikatur PWI (1980-1990)
Ketua Pakarti / Persatuan Kartunis Indonesia (1980-1990)

Penghargaan :

- Hadiah II Lomba Kartun PWI (1967)
- Hadiah Kartun Terbaik dalam rangka Hari Bhayangkara (1971)
- Hadiah Kalam Kencana dari Dewan Pers Indonesia (1977)
- Honorary Mention Award dari House of Humor, Gabrovo, Bulgaria (1981)
- Kartun Terbaik versi Departemen P&K (1982), Kartun Terbaik versi Departemen P&K (1984)
- Hadiah Jurnalistik Adinegoro dan Trofi PWI (1983)
- Hadiah Jurnalistik Adinegoro dan Trofi PWI (1984)
- Hadiah Jurnalistik Adinegoro dan Trofi PWI (1985)
- Hadiah Jurnalistik Adinegoro dan Trofi PWI (1986)
- Hadiah Jurnalistik Adinegoro dan Trofi PWI (1987)
- Best Cartoon of Nippon (2000)
- Gold Prize of Tokyo Nokai, kompetisi kartun internasional (2004)
- Penghargan Budaya Adi Karsa dari Dewan Kesenian Klaten (2005)


Buku :

- Smile In Indonesia (1972)
- Seni lukis Bali dalam 3 Generasi (1975)
- Indonesia 1967-1980 Kumpulan Kartun (1980)
- Humor Reformasi (1995)
- Reformasi Kumpulan Kartun (2000)
- 40 tahun Oom Pasikom (2007)

Mas Keliek-n

Keliek Siswoyo

Boss Doyok atau penciptanya adalah seorang pria berusia menjelang senja, Keliek Siswoyo, kelahiran Kota Gede, Yogyakarta. Di masa remajanya ia merantau ke Jakarta menantang nasib. Ia terlunta-lunta di Tanjung Priok, dan tempat nongkrongnya adalah di sekitar Bioskop Permai yang terletak di pinggiran by pass. Di sana para pengangguran, setengah pengangguran dan mereka yang ingin bebas dari kekangan rutinitas berkumpul. Keliek Siswoyo memiliki bakat melukis dan membuat kartun sejak duduk di SMP. Akan tetapi ia belum berani mengirimnya ke media cetak. Ketika nongkrong di Bioskop Permai itu bersama teman-temannya yang berasal dari berbagai suku, Keliek melihat ada Surat Kabar Harian Pos Kota, satu koran ibukota dengan bidikan pasar kalangan bawah. 

Pasar Pos Kota adalah kalangan di mana Keliek Siswoyo hidup, sehingga dengan mudah ia turn in ke dalam isi berita harian tersebut. Setiap minggu Pos Kota menyediakan ruangan bagi kartunis muda untuk menampilkan karyanya, lewat Pos Kota Minggu. Ke sanalah Keliek kemudian mengirimkan gambar-gambarnya dan sering dimuat. Pengasuh rubrik itu adalah pelukis dan juga kartunis senior Leo Purwono. Ia melihat ada kepekaan sosial dalam kartun karya Keliek Siswoyo. Pos Kota kemudian menerbitkan Lembaran Bergambar (Lembergar), yaitu sisipan dua kali seminggu berisi kartun, lukisan, komik, vignet, puisi bergambar dan sebagainya.

Melihat sambutan pasar begitu antusias, maka pimpinan koran tersebut menerbitkan Lembergar setiap hari. Leo kemudian memanggil Keliek untuk bergabung, menciptakan tokoh kalangan bawah yang kritis terhadap keadaan sekitarnya.

Mas Keliek Siswoyo banyak bicara bila dipancing tentang dunia musik atau film, terutama musik dan film di era 1970-an dan 1980-an yang banyak dinikmatinya. Juga saat dimintai tanggapan pada isu-isu sosial politik yang disaksikannya di teve dan termuat di koran.
Kelucuan Mas Keliek ada pada karyanya, pada gambar-gambarnya. Pada tokoh Doyok, yang sering tampil dalam kisah-kisah sarkastis. Kritik sosial yang disampaikan dengan nada pahit, sarkasme.

Sejak akhir 1976, warga Jakarta dan sekitarnya, dihibur oleh karya Mas Keliek, yaitu sejak tokoh Doyok ini lahir atas saran pendiri Pos Kota, H. Harmoko. Doyok terus tampil hingga akhir hayatnya.

Kartunis media lain menghormatinya sebagai seniman produktif yang tak pernah berhenti berkarya, ketika mereka hanya bisa tampil sesekali, atas pertimbangan halaman atau upaya menjaga kualitas. Mas Kelik adalah pekerja seni, yang hadir setiap hari.

* Informasi mengenai cergamis dan kartunis ini disarikan dari berbagai sumber.
* Informasi di halaman ini sedang dalam pengembangan. Kami menerima koreksi dan sumbangan tulisan atau informasi yang berhubungan dengan cergamis / kartunis ini.
Free Web Hosting